Rabu, 25 Mei 2011

ARTIKEL BASA JAWA

MENGGALI TIMBUNAN MAKNA
(Suwardi Endraswara dalam Gusti Ora Sare)
Tahun 1994-1995 adalah tahun pahit bagi saya. Namun, pada tahun itu pula saya panen petuah. Lazimnya hampir semua petuah dari banyak pihak yang disampaikan kepada saya itu berupa ungkapan Jawa tradisional. Terutama, hadir dari orang tua dan teman-teman sebaya yang menjenguk.
Teman dosen yang datang menjenguk bukan semata membawa buah tangan, tetapi justru mengusung ungkapan ritmis yang memuat doa. Teman Sanggar Sastra Jawa  Yogyakarta pun, datang dan sempat membangkitkan imajinasi saya. Banyak canda ria yang intinya menyatakan, sakit bagi seorang pengarang adalah bertapa. Sayapun meng-iya-kan. Yang tidak kalah hebatnya lagi, Mas Yudiono KS dari Yayasan Citra Pariwara Budaya, mengirim surat kepada saya, saat di RS Sardjito. Saya dinyatakan sebagai pemenang II lomba menulis Novel, lalu disertai hadiah dan ucapan, "Muga-muga enggal waras, iki kanggo tambah ngobatke. Dikuwat-kuwatake pasrah lan sumarah."
Meskipun kata-kata itu tidak disusun seindah ungkapan sastrawan, tetapi cukup potensial estetikanya. Yang jelas memuat ungkapan kepasrahan. Saya diharap berserah diri secara total. Itupun ikut menambah aroma obat psikologis. Terlebih lagi kakek  saya yang jauh-jauh datang dari pegunungan ke rumah sakit bilang, "Ya ditampa kanthi eklas, Le, Wit-witan wae bisane lemu nganggo didhangir kok." Maksudnya "terimalah sakit ini secara iklas (lahir batin), tumbuh-tumbuhan saja bisa subur karena disiangi berkali-kali". Mendengar  suara itu spontan ada pengurangan beban sakit. Kalau semula 6 kg, mungkin menjadi 5 kg. Entah secara kuantitas berkurang atau tidak, tapi dari rasa jelas ada minusnya.

Masih banyak lagi sembur dari penjenguk sakit saya. Bahkan ada seorang pepundhen K.H. Mochtarom Idris, guru ngaji saya datang, lalu berkata, “Sing tawakal, wong kuwi yen arep diunggahake drajate dicoba dhisik.” Artinya, “bertawakallah, orang yang akan ditingkatkan derajatnya, biasanya sering diuji terlebih dahulu.” Begitulah, andaikan saya menyediakan rekaman, kiranya cukup banyak ungkapan lisan yang terlontar. Nadanya, menghendaki agar saya sabar menerima musibah.
Itu berarti, bahwa ungkapan tradisional, setidaknya bagi saya, menjadi obat terapi yang luar biasa. Ungkapan tradisional, memiliki kekuatan supranatural yang luar biasa. Apalagi, kalau diucapkan oleh orang yang “bersih hatinya”, bisa jadi banyak buktinya. Berarti pula, setiap ungkapan memiliki nilai pragmatis yang berbeda-beda. Semua tergantung konteks penggunaannya. Pada waktu menengok orang sakit, ungkapan yang memuat harapan selalu diidolakan. Pada saat akan nikah, biasanya orang tua juga memberi petuah simbolik. Pada saat anak hendak menuntut ilmu, orang tua sering menggunakan ungkapan isbat misalkan golekana galihing kangkung.
Pendek kata, ungkapan tradisional Jawa memang amat luas. Orang Jawa memiliki segudang perbendaharaan. Di dalammya terdapat timbunan makna. Ini sebuah aset bangsa. Aset emas yang sangat berharga. Tak sedikit di antara ungkapan yang telah populer. Namun tidak sedikit pula yang belum diketahui maknanya secara mendalam. Banyak orang baru mengenali keindahan estetis ungkapan, tapi belum menyelami isinya apalagi menerapkan.
Ungkapan tradisional setahu saya memang berupa idealisme orang Jawa. Untaian kata indah dan multi makna itu tidak akan lapuk dimakan jaman. Makna selalu cocok setiap jaman. Karena yang terungkap berupa endapan pengalaman leluhur yang kental. Pengalaman tersebut kiranya tak sekedar merangkum hal-hal faktual, melainkan transedental. Tak sekedar mengubah hal-hal fisik tetapi juga metafisik. Maka membaca ungkapan seakan bisa memahami dunia Jawa secara menyeluruh.
Apa yang tersurat dan tersirat melalui ungkapan sebenarnya menjadi gambaran dunia lahir dan batin orang Jawa. Falsafah hidup orang Jawa, akan tergurat jelas dalam ungkapan tersebut. Misalnya saja becik ketitik ala ketara, sapa gawe nganggo, akan menjadi roda dan mesin hidup orang Jawa. Dari hal-hal ontologis, etnis, dan agamis, tampak dalam tafsiran ungkapan tersebut.
Yang pernah saya selami, ungkapan tradisional memang penyebarannya secara lisan. Dari mulut ke mulut, ungkapan beredar luas dan jelas siapa penciptanya. Dari aspek folklor, budaya spiritual, linguistik, filosofis, dan sebagainya, ungkapan tetap menarik diperbincangkan. Tegasnya melalui ungkapan termaksud banyak hal yang dapat dijadikan pedoman hidup.
(bersambuang...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar