Selasa, 10 Januari 2012

folklore DONGENG WALI


SUNAN AMPEL
Asal-usul
            Raden Rahmatullah (sunan Ampel) lahir di negeri Cempa pada tahun 1401 M. Putra dari seorang ibu yang bernama Dewi Candra Wulan adalah putri raja Cempa. Adapun ayahnya yang bernama Ibrahim Al-Ghozi, seorang ulama besar dari Samargandi dekat Bukhara sebuah daerah letaknya di Rusia Selatan, yang bernama Syekh Jamalludin Jumadil Kubra. Seorang ahlussunnah bermahzab syafi’i, beliau mempunyai seorang putra bernama Ibrahim. Karena berasal dari Samargandi maka Ibrahim kemudian mendapat tambahan Samargandi, orang jawa sangat sukar mengucapkan Samargandi maka mereka hanya menyebutkan sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi.
            Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalludin Jumadil Kubra untuk berdakwah ke Negara-negara Asia. Perintah ini dilaksanakan dan beliau kemudian diambil menantu oleh raja Cempa dijodohkan dengan putrid raja Cempa yang bernama Dewi Candra Wulan.
            Negeri Cempa ini menurut sebagai ahli sejarah terletak di Muangthai. Dari perkawinan dengan Dewi Candra Wulan maka Ibrahim Asmarakandi mendapat dua orang putra yaitu Sayyit Ali Rahmatullah dan Sayyit Ali Murtadho sedangkan adik Dewi Candra Wulan yang bernama Dewi Dwarawati diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian keduanya adalah keponakan ratu Majapahit dan tergolong putra bangsawan atau pangeran kerajaan.
            Raja Majapahit sangat senang mandapat istri dari negeri Cempa yang wajah dan kepribadiannya sangat memikat hati, sehingga istri-istri lainnya diceraikan. Banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang tersebar di seluruh nusantara. Salah satu contoh adalah istri yang bernama Dewi Kian seorang putri Cina yang diberikan kepada adipati Ario Damor di Palembang.
            Ketika Dewi Kian diceraikan dan diberikan kepada Ario Damar, saat itu sedang hamil tiga bulan. Ario Damor tidak diperkenankan menggauli putrid Cina itu sampai si jabang lahir ke dunia. Bayi dari rahim Dewi Kian itulah yang nantinya bernama Raden Hasan atau lebih dikenal dengan Raden Patah, salah seorang murid sunan Ampel yang menjadi raja di Demak Bintoro.
Kerajaan Majapahit sesudah ditinggal mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk mengalami kemunduran drastis. Kerajaan terpecah belah karena terjadi perang saudara dan para adipati banyak yang tidak loyal lagi kepada keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya Kertha Bumi. Pajak dan upeti kerajaan banyak yang sampai ke istana Majapahit.

Ke Tanah Jawa
            Maka pada suatu hari diberangkatkan utusan dari Majapahit ke negeri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit. Kedatangan utusan Majapahit disambut genbira oleh raja Cempa. Dan raja Cempatidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
            Keberangkatan Sayyid Ali Rahmatullah ke tanah jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan kakaknya sebagaimana disebutkan di atas, ayah Sayyid Rahmatullah adalah Syekh Mulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali Murtadho. Di duga mereka tidak langsung ke Majapahit melainkan mendarat di Tuban. Tetapi di Tuban tepatnya di desa Gesik Harjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia. Beliau dimakamkan didesa tersebut yang masih termahsyuk kecamatan Palang kabupaten Tuban.
            Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan. Beliau berdakwah keliling ke daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Di sana beliau mendapat sebutan Raja Pandita Bima dan akhirnya berdakwah di Gresik mendapat sebutan Raden Santri. Beliau wafat dan dimakamkan di Gresik. Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan ratu Dwarawati.
            Kapal layar yang ditumpanginya cang’u. Kedatangannya disambut dengan suka cita oleh Prabu Kertabumi, lebih lagi Ratu Dwarawati bibinya sendiri. Wanita itu memeluknya erat-erat seolah sedang memeluk kakak perempuannya yang berada di istana kerajaan Cempa. Wajah keponakannya itu memang mirip dengan kakak perempuannya.
            “Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia?” Tanya sang Prabu setelah Sayyid Rahmatullah beristirahat melepas lelah. Dengan sikapnya yamg sopan tutur “saya berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan saya mendidik mereka”.
            “Bagus !” sahut sang Ratu. “bila demikian kau akan ku beri hadiah sebidang tanah berikut bangunannya di Surabaya, disanalah kau akan mendidik para bangsawan dan pangeran Majapahit agar berbudi pekerti mulia”.
            “Terima kasih saya aturkan Gusti Prabu ”. jawab Sayyid Ali Rahmatullah. Disebutkan dalam literature bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap beberapa hari di Istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah satu putri Majapahit Nyai Ageng Manila. Dengan demikian Sayyid Ali Rahmatullah adalah seorang pangeran Majapahit, karena dia adalah menantu raja Majapahit. Para pangeran pada jaman dulu di tandai dengan nama depan raden tuanku. Selanjutnya dikenal dengan sebutan Raden Rahmad.

Ampel Denta
            Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Raden ke sebuah daerah di Surabaya yang kemudian disebut Ampel Denta.
            Rombongan itu melalui desa Krian Wonokromo terus memasuki Kembang Kuning. Selama dalam perjalanan beliau juga berdakwah kepada penduduk setempat yang dilaluinya. Dakwah yang pertama kali dilakukannya cukup unik. Beliau membentuk kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan tertentu dan anyaman rotan. Kipas-kipas itu dibagi-bagikan kepada penduduk setempat secara gratis, para penduduk hanya cukup menukarnya dengan kalimat syahadat.
            Penduduk yang menerima kipas itu merasa sangat senang, terlebih setelah mereka mengetahui kipas-kipas itu bukan sembarangan. Kipas akar yang dianyam bersama rotan itu ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena penyakit batuka dan demam. Dengan cara itu semakin banyak orang yang berdatangan kepada Raden Rahmat. Saat demikianlah ia memperkenalkan kendahan Islam sesuai tingkat pemahaman mereka.
            Cara itu terus dilakukan hingga rombongan memasuki desa Kembang Kuning. Pada saat itu wilayah desa Kembang Kuning belum seluas sekarang ini, di sana sini masih banyak hutan dan mendirikan tempat sembahyang sederhana atau langgar. Tempat tersebut sekarang telah diubah menjadi masjid Rahmat Kembang Kuning.
            Ditempat itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu Ki Wiryo Sarojo dan Kibang Kuning. Kedua tokoh masyarakat itu bersama keluarganya masuk Islam dan menjadi pengikut Raden Rahmat.
            Dengan adanya kedua tokoh masyarakat itu maka semakin mudah bagi Raden Rahmat untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya, terutama kepada masyarakat yang masih memegang teguh adat kepercayaan lama. Beliau tidak langsung melarang mereka, melainkan memberikan sedikit demi sedikit tentang pentingnya ajaran tauhid. Dan jika mereka sudah mengenal tauhid atau keimanan kepada Tuhan pencipta alam, maka secara otomatis mereka akan meninggalkan sendiri kepercayaan lama yang bertentangan dengan ajaran Islam.
            Setelah sampai di tempat tujuan, pertama kali yang dilakukannya yaitu mambangun masjid sebagai pusat kegiatan ibadah. Ini meneladani yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW saat pertama kali sampai di Madinah.
            Dan karena beliau menetap di desa Ampel Denta menjadi penguasa daerah tersebut maka kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel. Selanjutnya beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa saja yang mau datang berguru kepada beliau.

Keturunan Sunan Ampel
            Raden Rahmat yang tinggal di Ampel Denta itu semakin lama semakin bertambah. Harum namanya di kalangan masyarakat maupun bangsawan pembesar-pembesar kerajaan dengan sebutan Sunan Ampel.
            Pada suatu ketika Rade Rahmat akan mengambil air wudlu tiba-tiba di sungai itu nampak buah delima terapung-apung di permukaan air. Tanpa berpikir diambillah delima itu.
            Rupanya syaiton telah melupakannya sehabis mendirikan sholat buah delimaitu dimakannnya. Tetapi setelah tinggal separuh barulah beliau teringat dan menyesal karena telah terlanjur memakan delima yang belum mendapat ijin dari pemiliknya.
            Karena itu beliau menyusuri tepian sungai mencari siapa orang yang empunya untuk diminta kerelaan hatinya. Di suatu tempat di tepian sungai itu bertemu Ki Ageng Supa (Sunan Bungkul) yang baru saja datang dari hulu sungai.
            Setelah keduanya bercakap-cakap ternyata buah delima itu milik Ki Ageng Supa yang sedang dicari-carinya. Maka Raden Rahmat pun meminta maaf dan agar Ki Ageng Supa mau menghalalkan buah delima yang telah terlanjur dimakannya itu.
            Tetapi Ki Ageng Supa tidak mau memaafkan dan menghalalkan dikatakan bahwa karena buah delima itu adalah milik putrinya yang sekarang sedang menangisi hilangnya buah delima tersebut.
            Raden Rahmat merasa sedih sekali karena beliau selalu teringat sabda Nabi Muhammad SAW yang mengatakan : “tidak akan masuk surga darah dan daging seseorang yang terjadi dari makanan haram.”
            Sesaat kemudian Raden Rahmat mengatakan akan kesanggupannya mencarikan buah delima yang lebih besar dan bagus daripada itu sebagai gantinya. Walaupun demikian Ki Ageng Supa pun tetap tidak akan memafkan karena buah delima yang dimakan Raden Rahmat itu adalah buah delima kesayangan putrinya.
            “Kemudian bagaimana maksud Ki Ageng?” Tanya Raden Rahmat penuh keheranan. Dalam hati Raden Rahmat berkata kanapa tiba-tiba saja Ki Ageng Supa bersikap demikian kepadaku? Hanya soal buah delima saja ia tidak mau memaafkan padahal Ki Ageng Supa adalah termasuk muridnya.
            Akhirnya Ki Ageng Supa (Sunan Bungkul) mengatakan mau memaafkan dengan syarat Raden Rahmat asal saja bersedia menjadi suami anaknya yang kehilangan buah delima itu namanya Siti Karimah seorang anak gadis yang tuli, bisu dan lumpuh.
            Setelah mendengar ucapan Ki Ageng Supa Raden Rahmat terkejut kenapa sampai menjadi demikian permasalahannya. Hanya soal buah delima satu saja harus menikah dengan seorang gadis yang tuli, bisu dan lumpuh itu. Raden Rahmat teringat akan sabda Nabi Muhammad SAW yang telah kami sebutkan tadi. Akhirnya beliaupun menyerah kepada Ki Ageng Supa. Ki Ageng Supa hatinya merasa lega, maka diajaklah Raden Rahmat ke rumahnya dan diperlihatkan Siti Karimah.

Ajaran Raden Rohmat
            Selanjutnya karena beliau menetap di Desa Ampel Denta dan menjadi penguasadi daerah tersebut, maka beliau dikenal sebagai Sunan Ampel, yang artinya sesuhunan / panutan masyarakat. Semakin lam bertambah banyak orang yang berguru kepada beliau, bukan hanya dari kalangan bangsawan Majapahit saja, bahkan dari masyarakat juga tidak kalah banyaknya.
            Adapun hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Molimo. Yang artinya Mo adalah ora gelem (tidak mau) dan limo artinya perkara lima (5). Jadi maksud dari kata-kata molimo ialah tidak mau melakukan lima perkara yang terlarang, yaitu:
1). Emoh main atau tidak mau judi.
2) Emoh ngombe  atau tidak mau minum minuman yang memabukkan,
3) Emoh madat atau tidak mau minum atau menghisap candu atau ganja,
4) Emoh madon atau tidak mau berzina atau main perempuan yang bukan istrinya.
5) Emoh maling atau tidak mau mencuri.
            Setelah nampak hasil didikan Raden Rahmat, Prabu Brawijaya merasa sangat gembira sekali. Ia pun sangat bangga mempunyai menantu seperti Raden Rahmad itu, karena dapat membantu memperbaiki budi pekerti para Putra Bangsawan, dan para Adipati atau para kawula, sehingga keadaan Majapahit menjadi tenang kembali.
            Sebenarnya Prabu Brawijaya menyukai ajaran itu. Dalam hati dan pikiran, Islam adalah agama yang baik dan agama yang mempunyai didikan budi pekerti yang luhur.
Maka dari itu, ketika Raden Rahmad mengumumkan bahwa itu adalah agama islam, sang Prabupun tidak marah, namun saja ketika Raden Rahmad mengajaknya masuk Islam, sang Prabu tidak mau, dan mengatakan sangat berat rasanya untuk meninggalkan agama Budha yang sudah mendarah daging pada dirinya.
            Walaupun demikian, sang Prabu tetap memberi kebebasan kepada menantunya (Raden Rahmad) untuk mensyiarkan agama Islam kepada siapa saja, tetapi syarat bagi mereka yang tidak berkenan jangan dipaksa. Raden Rahmad mengatakan kepada Raja bahwa beliau tidak mengislamkan manusia, tetapi hanya sekedar menyampaikan Islam kepada manusia. Maka apa yang dipersyaratkan raja sesuai dengan yang diajarkan Islam yaitu manusia bebas memilih agama yang cocok untuk manusia itu sendiri. Karena itu Al Quran menyebutkan: “tidak ada paksaan di dalam memilih agama.”
            Setelah Syeikh Maulana Malik Ibrahim wafat, sebagai mufti atau pemimpin imam setanah Jawa yakni menjadi sepenuh wali sanga digantikan kepada Sunan Ampel.
            Dibangunnya Masjid Agung Demak yang berdiri pada tahun 1677 M itupun Sunan Ampel juga ikut serta berperan dalam perancangan proyek pembangunannya. Hal ini  terbukti sampai sekarangbisa kita saksikan pada salah satu diantara empat tiang utam masjid itu diberi nama sesuai dengan pendirinya ialah Sunan Ampel. Dan masjid itu bagus sekali.

Penyelamat Aqidah
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat hati-hati. Hal ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajat seperti yang pernah tersebut permusaywatan para wali di Masjid Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kali Jaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel “Apakah tidak mengkhawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dalam upacara itu nanti dianggap sebagai aturan yang berasal dari agama Islam ? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?”.
Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel “Saya setuju dengan pendapat Sunan Klijaga bahwa adat istiadat lama yang masih bias diarahkan kepada agama tauhid maka kita akan memberinya warna islami, sedang adat dan kepercayaan yang jelas-jelas menyuruh ke arah kemusyrikan kita tinggal sama sekali, misal gamelan dan wayang kulit kita bisa memberinya warna islami sesuai  dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekhawatiran kanjeng Sunan Ampel saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang yang menyempurnakan”.
Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut sebenarnya hikmah pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus sebenarnya yaitu agar agama Islam cepat diterima oleh orang Jawa dan ini terbukti dikarenakan dua wali tersebut pandai mengawinkan adat-istiadat lama yang dapat di tolelir Islam maka penduduk Jawa banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam. Pada peinsipnya mereka menerima Islam lebih dahulu dan sedikit demi sedikit mereka akan diberi pengertian tentang kebersihan tauhid dalam iman mereka.
Setidaknya adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah benar yang hakiki, sehingga membuat umat semakin barhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah beliau telah menyelamatkan aqidah ummat agar tidak tergelincir ke lembah musyrik.
Beliau pula yang pertama kali menciptakan huruf pegon atau tulisan arab berbunyi bahasa jawa. Dengan huruf pegon ini beliau dapat menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada para muridnya, hingga sekarang huruf pegon tetap dipakai sebagai bahan pelajaran agama Islam di kalangan pesantren.
Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota wali sanga. Mereka adalah : Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati. Mereka memperjuangkan agama Islam sangatlah kuat dan sabar.
Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di barat masjid.

Murid Sunan Ampel (Mbah Shalih dan Mbah Son Haji)
            Diantara murid-murid Sunan Ampel hanyalah Mbah Shalih yang punya peristiwa misteri yang terkenal, mengalami mati sampai sembilan kali sehingga kuburannya pun sembilan juga banyaknya.
            Menurut riwayat Mbah Shalih, salah seorang murid Sunan Ampel merangkap menjadi tukang sapu masjid di masa Sunan Ampel. Hasil kerjanya memang memuaskan bagi Sunan Ampel dan semua orang. Apabila menyapu lantai masjid sangat bersih dan segar, sehingga yang sujud tanpa sajadah tidak merasa ada debunya.
            Setelah Mbah Shalih wafat dan dimakamkan di muka masjid, maka baru terasa oleh Sunan Ampel dan orang banyak, bahwa tidak seoranpun yang mampu menyapu lantai masjid sebersih sapuan Mbah Shalih, lebih-lebih para santri tidak bisa secara rutin menyapunya. Akibatnya keadaan masjid sering nampak kotor.
            Melihat hal yang demikian, maka terucaplah dari lisan Sunan Ampel “Seandainya Mbah Shalih masih hidup, tentulah masjid ini menjadi bersih kembali”. Dan semua orang pun merasa keheranan setelah melihat Mbah Shalih hidup kembali.
            Setelah beberapa bulan kemudian Mbah Shalih wafat lagi dan dimakamkan sebelah timur dimakamnya yang  pertama. Sepeninggalannya Mbah Shalih yang kedua kalinya ini otomatis keadaan masjid kotor lagi. Atas kekaromahan Sunan Ampel yang mengucapkan kata-kata sebagaimana dulu, maka dengan izin Allah Mbah Shalih hidup lagi untuk kedua kalinya.
            Demikianlah kejadiannya Mbah Shalih sampai beberapa kali wafat dan hidup kembali. Setelah kuburan Mbah Shalih genap delapan buah, Sunan Ampel telah tiba-tiba saat kewafatannya, setelah beberapa sepeninggal Sunan Ampel, Mbah Shalih pun wafat kembali sehingga kuburan Mbah Shalih sebanyak sembilan kuburan dan kuburan yang terakhir berada di ujung timur.
            Demikianlah kisah Mbah Shalih dan selanjutnya marilah kita melihat riwayat Mbah Son Haji juga sebagai murid Sunan Ampel adalah Mbah Son Haji yang lebih terkenal dengan sebutan Mbah Bolong mempunyai kisah dan keistimewaan tersendiri.
            Telah diriwayatkan setelah pembangunan masjid Agung, Sunan Ampel, Mbah Son Haji mendapatkan tugas untuk mengatur letak pengimaman masjid itu. Setelah pembangunan masjid selesai, banyak orang yang meragukan hasil kerja Mbah Son Haji.
            Orang itu segera melihat ke lubang tersebut, ternyata dari lubang itu mereka dapat melihat ka’bah yang berada di Mekah. Sejak itulah mereka tidak berani meremehkan dan mengerti bahwa Mbah Son Haji yaitu seorang yang mempunyai kekaromahan dan kemudian mendapat sebutan “Mbah Bolong”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar